Refleksi Hari Kemerdekaan Perspektif Ketua Kopri Jabar
Kemerdekaan tidak bisa dilahirkan dari individu-individu yang tidak merdeka.
Karena merdeka adalah bebas dari segala bentuk diskriminasi atas jenis kelamin, ras, suku, bangsa dan agama.
Diskriminasi berarti setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang di buat atas dasar jenis kelamin, ras, suku, golongan, warna kulit, bangsa dan agama yang mempunyai tujuan mengurangi atau menghapus pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebasan pokok di bidang politik, ekonomi, dll.
Diskriminasi atas jenis kelamin tersebut yang ditandai sebagai bentuk ketidakadilan gender berupa marginalisasi (Peminggiran).
Marginalisasi adalah proses pemutusan hubungan kelompok-kelompok dengan lembaga sosial utama, seperti struktur ekonomi, pendidikan, dan lembaga sosial ekonomi lainnya.
Marginalisasi selalu melibatkan kemampuan penduduk dominan untuk melaksanakan kekuasaan atas kelompok-kelompok yang terpinggirkan.
Menurut Fakih (2008:14), proses marginalisasi sama saja dengan proses
pemiskinan. Hal ini dikarenakan tidak diberinya kesempatan kepada pihak yang
termaginalkan untuk mengembangkan dirinya. Demikian juga yang dialami oleh
perempuan saat proses marginalisasi ini terjadi pada jenis kelamin. Perempuan
merupakan pihak yang dirugikan daripada laki-laki dalam hal ketidakadilan
gender ini. Sebagai contoh dalam hal pekerjaan. Perempuan yang bekerja dianggap hanya untuk memberikan nafkah "tambahan" bagi keluarga, maka
perbedaan gaji pun diterapkan antara perempuan dan laki-laki.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Yuarsi (2006:240) yang menyatakan
bahwa posisi dan upah terendah akan dialami oleh perempuan walaupun bila
dilihat dari pendidikan dan kemampuan mereka tidak kalah dengan laki-laki. Hal
ini dikarenakan pemilik modal usaha telah memiliki pandangan bahwa laki-laki
lebih bisa fleksibel dalam berbagai hal dan perempuan dianggap tidak produktif.
Jika perempuan memerlukan cuti hamil, melahirkan, dan jarang yang bisa lembur
karena beban ganda mengurus keluarganya di rumah maka tidak demikian dengan
laki-laki.
Perempuan mendapat perlakuan tidak adil, tidak hanya di tempat kerja,
namun juga di dalam keluarganya sendiri, yakni dalam bentuk diskriminasi atas
anggota keluarga laki-laki terhadap perempuan (Fakih, 2008:15).
Anggota keluarga berjenis kelamin perempuan tidak memiliki hak yang sama dengan laki-
laki dalam mengambil keputusan dalam keluarganya. Ayah akan memiliki
kekuasaan mutlak terhadap kehidupan istri maupun anak-anaknya, begitu pula
dengan kedudukan anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki akan langsung
menggantikan ayah jika yang bersangkutan pergi atau meninggal, walaupun posisi
anak perempuan lebih tua dari anak laki-laki.
Kedudukan laki-laki yang dianggap lebih tinggi juga akan berimbas pada
pendidikan yang rendah untuk perempuan. Hal tersebut dicontohkan ketika
keadaan keluarga yang sedang mengalami krisis keuangan, maka anak laki-laki
akan mendapat prioritas utama untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi daripada anak perempuan. Anak perempuan akan lebih banyak digunakan
tenaganya untuk membantu urusan rumah. Hal ini karena anggapan masyarakat
patriarki bahwa anak laki-laki sebagai pengganti kepala keluarga (pengganti
pencari nafkah) sedangkan perempuan akan menjadi ibu rumah tangga kelak
kalau sudah menikah.
Kedua, adalah subordinasi (penomordua-an).
Istilah ini mengacu kepada peran dan posisi perempuan yang lebih rendah dibandingkan peran dan posisi laki-laki. Subordinasi perempuan berawal dari pembagian kerja berdasarkan gender dan dihubungkan dengan fungsi perempuan sebagai ibu. Kemampuan perempuan ini digunakan sebagai alasan untuk membatasi perannya hanya pada peran domestik dan pemeliharaan anak – jenis pekerjaan yang tidak mendatangkan penghasilan – yang secara berangsur menggiring perempuan sebagai tenaga kerja yang tidak produktif dan tidak menyumbang kepada proses pembangunan.
Ketiga, stereotype/stereotip (citra baku/label).
Stereotip gender adalah kategori luas yang merefleksikan kesan dan keyakinan tentang apa perilaku yang tepat untuk laki-laki dan perempuan. Semua stereotip, entah itu berhubungan dengan gender, etnis, atau kategori lainnya, mengacu pada citra dari anggota kategori tersebut.
Stereotip masyarakat bahwa perempuan lebih cocok bekerja mengurus
rumah daripada bekerja di luar, mengakibatkan kesempatannya untuk
mengembangkan diri di luar terhambat. Perempuan yang sudah tidak bisa hidup
mandiri karena keadaan, menjadikannya budak laki-laki. Perempuan akan
melakukan semua yang diinginkan laki-laki agar tetap bisa bertahan hidup. Hal
tersebut dapat dicontohkan dalam kehidupan rumah tangga, jika yang bekerja
adalah suami dan istri mengurus anak serta segala urusan rumah, istri akan
menuruti semua keinginan suami agar tetap diberi nafkah (secara materi) untuk
terus hidup. Hal tersebut dikarenakan bila istri ditinggalkan suami, dia tidak akan
memiliki uang untuk melanjutkan hidupnya termasuk untuk membiayai anak-
anaknya.
Keempat, adalah double burden (beban ganda).
Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya.
Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan permanen.
Perempuan diwajibkan untuk memberikan pelayanan seksual kepada laki-
laki sesuai kebutuhan laki-laki bukan perempuan (Bhasin, 1996:8). Laki-laki
memiliki kuasa terhadap keinginan seksualnya. Hal tersebut berarti perempuan
tidak boleh menolak keinginan laki-laki untuk melakukan hubungan seksual dan
perempuan tidak diperbolehkan memaksakan keinginannya untuk melakukan
hubungan seksual pada laki-laki.
Perempuan terkadang tidak memiliki kebebasan dalam hal reproduksi,
semuanya dikontrol oleh laki-laki (Bhasin, 1996: 6). Bahkan, pada zaman modern
ini reproduksi ditentukan oleh negara (yang banyak dikuasai oleh laki-laki). Hal
tersebut dapat dilihat bagaimana sistem keluarga berencana yang ditentukan
negara untuk hanya memiliki dua anak saja dengan alasan menekan pertumbuhan
penduduk, demikian halnya dengan di negara India. Berbeda dengan Indonesia
dan India, Malaysia dan Eropa malah mendorong perempuan untuk melahirkan
anak banyak. Hal tersebut karena di Malaysia ingin meningkatkan perekonomian
dalam negeri, sedangkan di Eropa karena rendahnya pertumbuhan penduduk. Hal
tersebut menunjukkan adanya kontrol atau aturan yang dibebankan pada
perempuan dalam hal reproduksi. Perempuan dipinggirkan dalam menentukan
keputusan tersebut, hak mereka diabaikan oleh negara maupun penguasa.
Kemudian, walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja diwilayah publik, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestik. Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.
Terakhir, Violence (Kekerasan).
Kekerasan berbasis gender atau lebih khusus kekerasan terhadap perempuan merupakan kejahatan sosial (social crime).
Kekerasan berbasis gender dan kekerasan terhadap perempuan terjadi tidak terpisahkan dari beragam konstruksi sosial-budaya yang tidak adil gender atau bias gender. Setiap elemen masyarakat, baik individual maupun institusional, memiliki andil dalam membangun konstruksi bias gender tersebut. Konstruksi bias gender itu lahir dari suatu ideologi atau cara pandang sosial-budaya patriarkhal, yang memandang relasi gender yang tidak adil dan tidak setara, utamanya antara laki-laki dan perempuan sebagai sesuatu yang valid dan legitimate. Sebagai hasilnya, bisa kita lihat beberapa hal nyata dalam keseharian hidup kita: kita memandang lumrah saat perempuan-perempuan ibu rumah tangga yang lingkup pekerjaannya “mengurus anak, suami dan rumah” diposisikan sangat marjinal dari berbagai partisipasi dan akses terhadap pembuatan keputusan, bahkan dalam rumah tangganya sendiri; saat mereka mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) oleh suaminya pun, kita masih menganggapnya sah, karena dalam ideologi patrairkhisme suami punya hak melakukan itu.
Hukum yang berlaku pun lebih membatasi perempuan daripada laki-laki.
Hal tersebut akan terlihat pada masyarakat patriarki yang bagaimana perempuan
dipaksa untuk memakai pakaian yang tertutup daripada memaksa anak laki-laki untuk menundukkan kepala saat bertemu dengan perempuan (Bhasin, 1996:8).
Hal tersebut berarti perempuan dinilai menjadi penyebab adanya tindak kejahatan
(seksualitas) dan menafikan tidak adanya kontrol diri pada laki-laki.
Dengan ideologi atau cara pandang patriarkal, masyarakat juga membangun nilai-nilai sosial-budaya terkait kesejatian sebagai laki-laki (masculinity) dan sebagai perempuan (femininity). Kekerasan berbasis gender lalu tak hanya berupa kekerasan terhadap perempuan; kekerasan berbasis gender bisa terjadi di antara sesama laki-laki, atau sesama perempuan atau oleh perempuan terhadap laki-laki. Seorang laki-laki yang dinilai nyempal dari konstruksi maskulinitas hegemonik (hegemonic masculinity), dengan menampilkan kelelakian yang tak sesuai harapan sosial-budaya yang berkembang dalam masyarakat, menjadi pihak yang memiliki resiko besar menjadi korban kekerasan berbasis gender. Misalnya, para lelaki yang tak beruntung dalam hal pekerjaan, para lelaki yang memilih tak menikah, para lelaki yang tidak bisa punya anak, yang secara tradisional selama ini dilakukan perempuan, merekalah para lelaki yang dianggap tidak sejati dalam konstruksi maskulinitas hegemonik, dan karenanya dianggap wajar ketika terhadapnya dilakukan kekerasan atau pelecehan. Dalam ideologi patriarkhisme yang begitu kuat, perempuan dengan gambaran identitas femininity yang dianggap tidak lumrah akan menerima resiko lebih besar suatu tindakan kekerasan.
Diskriminasi juga terjadi pada perbedaan ras, suku, bangsa dan agama. Diskriminasi tersebut memberikan perlakuan tidak adil kepada salah satu pihak.
Misalnya, dalam hal diskriminasi ras, suku, atau golongan biasanya terjadinya stereotipe yang menyebabkan ketidakadilan. Seperti bahwa orang jawa itu lemah lembut, sementara orang timur itu keras/kasar. Sehingga itu berujung pada ketidakadilan pemberlakukan kerja, orang jawa akan ditempatkan pada pekerjaan ringan, sementara orang timur ditempatkan pada pekerjaan kasar. Bahkan, orang timur karena dianggap keras/kasar akan menempatkan posisi mereka pada aktivitas kejahatan, seperti pencuri, pembunuhan dan pemerkosaan.
Diskriminasi juga terjadi pada perbedaan agama dan bangsa yang mengakibatkan ketidakadilan. Agama dan bangsa tertentu dianggap lebih rendah, lebih kejam, lebih ulet, lebih cerdas, lebih maju, lebih kaya dibanding agama dan bangsa tertentu. Sehingga pantas diberlakukan tidak adil, dijajah, bahkan peniadaan atas hak beragama dan berbangsa tertentu oleh masyarakat lokal, nasional maupun internasional.
Dengan demikian segala bentuk diskriminasi tersebut diatas adalah manifesto dari ketidakmerdekaan..
Sehingga kemerdekaan suatu bangsa adalah buah dari perjuangan individu masyarakat merdeka, yang bebas dari segala bentuk penjajahan dan ketidakadilan.
Refleksi 73 Tahun Kemerdekaan RI adalah mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dengan mewujudkan penghentian penindasan kepada rakyat dalam bentuk apapun dan merdeka atas penjajahan bangsa lain, berdikari secara ekonomi dengan mewujudkan kemandirian ekonomi nasional dan berdaulat secara politik sehingga menghantarkan Indonesia menjadi Bangsa dan Negara maju dimata dunia.
Dirgahayu Indonesiaku ✊🏻
Bandung, 17 Agustus 2018
Apriyanti Marwah
Ketua KOPRI PKC PMII Jawa Barat 2017-2019

Komentar
Posting Komentar